Senin, 10 Mei 2004

HIV/AIDS adalah Masalah Semua Orang

KOMPAS - SATU setengah tahun lalu, Chery Nursalim bersama suaminya, seorang dokter, berkunjung ke Johannesburg, Afrika Selatan. Di kota itu, mereka mengunjungi delapan rumah sakit, termasuk yang merawat pasien dengan HIV/AIDS. Di sana ia bertemu dengan dua perempuan, ibu dari 12 dan tujuh anak, yang terinfeksi HIV dari para suaminya.

Mereka menceritakan apa yang dialami. Saya merasa sedih karena hal serupa bisa terjadi terhadap perempuan lain di mana saja, ujar Chery sambil memperlihatkan foto dia dan suaminya yang mengapit dua perempuan di Soweto.

Putri mantan pemilik Kelompok Gajah Tunggal ini mengungkapkan pengalamannya di depan sekitar 400 orang yang mengikuti diskusi setelah acara peluncuran Keputusan Menteri (Kepmen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja di sebuah hotel berbintang di Jakarta, Kamis (6/5).

Epidemi HIV/AIDS yang meruyak di Afrika Selatan mengetuk keprihatinan Chery. "Sekitar 10 tahun lalu, baru lima dari 1.000 orang yang terinfeksi. Saat ini tiga dari 10 orang terinfeksi HIV di sana," ujarnya. Ketika kembali, ia membagikan pengalamannya kepada para pemimpin di perusahaan ayahnya.

"Kami beruntung karena prakarsa untuk memberikan informasi dan pendidikan tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pada para pekerja kami datangnya dari top management," ujar Catharina Widjaya, Executive Vice President PT Gadjah Tunggal Tbk.

Untuk menjalankan program ini kepada sekitar 7.500 pekerjanya di Tangerang, perusahaan itu kemudian berhubungan oleh Aksi Stop AIDS dan Yayasan Kusuma Buana. "Sebagian besar pekerja kita berpendidikan rendah sehingga informasi tentang HIV/AIDS sangat dibutuhkan," ujar Catharina. Pelatihan juga diberikan kepada perawat dan dokter perusahaan agar mereka bisa berlaku benar kalau melakukan pendekatan personal terhadap pasiennya.

Karena menyadari bahwa HIV/AIDS berkaitan erat dengan narkoba, perusahaan itu akan bekerja sama dengan Yayasan Visi Anak Bangsa untuk pencegahan narkoba dan obat terlarang di kalangan pekerja dan lingkungannya. "Pekerja kami di Indonesia mencapai 34.000," ujar Catharina. Program ini akan dikembangkan kepada pekerja PT Gajah Tunggal yang tersebar di tempat lain.

PT Gajah Tunggal merupakan satu dari enam perusahaan yang mendapatkan Penghargaan Peduli AIDS dari Yayasan Kusuma Buana yang bekerja sama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Badan PBB untuk Pencegahan dan Penanggulangan AIDS (UNAIDS), serta Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).

Bersama lima perusahaan lainnya, yakni PT Krakatau Steel, PT Ricky Putra Globalindo, PT Bank Tabungan Negara, Perum Perumnas, dan Standard Chartered Bank, mereka dinilai telah melakukan upaya penyebarluasan informasi mengenai HIV/AIDS di lingkungan kerjanya, termasuk adanya kebijakan perusahaan untuk melaksanakan program pencegahan HIV/AIDS secara berkesinambungan. Kelima perusahaan ini menyusul 24 perusahaan lain yang mendapatkan penghargaan sama sejak tahun 1997.

Dr Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana (YKB) merasa sangat lega dengan keluarnya Kepmen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. Sejak tahun 1993, YKB telah merintis upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja dan telah melakukan advokasi serta koordinasi dengan Departemen Tenaga Kerja.

"Kepmen itu dikeluarkan ketika proses sudah berlangsung di bawah. Kepmen tersebut menaungi seluruh upaya di bawah," ujarnya. Keluarnya Kepmen ini mendapat dukungan penuh dari Aksi Atop AIDS dan Indonesian HIV/AIDS Prevention and Care Project yang dibantu AUSAID.

Dalam perjalanannya kemudian, ada lembaga lain yang bergerak di bidang yang sama, yakni Komite Kemanusiaan Indonesia (KKI). Bank Tabungan Negara, misalnya, menurut Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Sunarwa, bekerja sama dengan KKI dalam mengembangkan program pencegahan HIV/AIDS di lingkungan karyawan dan debitur BTN.

MENURUT Catharina Widjaya, program pencegahan ini merupakan salah satu bentuk dari tanggung jawab dan akuntabilitas perusahaan dalam upaya mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS. Namun, seperti dikemukakan Richard Howard dari Aksi Stop Aids (ASA) AUSAID, kalau kita tidak memetik pelajaran dari Afrika Selatan, biaya yang harus dikeluarkan perusahaan akan sangat besar.

Dalam diskusi yang dipandu oleh Nurul Arifin dan Taufik dari ILO, Richard memaparkan hasil penelitian di Bostwana, Afrika, yang menyatakan, biaya untuk menanggulangi AIDS membutuhkan lima sampai sembilan persen dari komponen biaya pekerja. "Setiap hari, 10 persen pekerja tidak masuk karena penyakit-penyakit yang berkaitan dengan HIV/ AIDS," katanya.

Selain itu, kalau suatu perusahaan membutuhkan satu pekerja baru, yang diterima harus tiga. "Karena yang dua pasti tidak bisa bertahan karena sudah terinfeksi HIV," kata Richard. "Kita bisa mengatakan bahwa budaya di Indonesia berbeda dengan di Afrika. Tetapi, di Afrika 10 tahun lalu keadaannya tak jauh berbeda dengan kita di Indonesia saat ini," katanya.

Richard menjelaskan, sebagaimana di belahan dunia yang lain, unsur-unsur awal epidemi HIV/AIDS nasional yang berskala besar, unsur-unsur awalnya adalah "Laki-laki, Mobilitas dan Uang."

Para pebisnis yang bepergian untuk urusan bisnis atau mereka yang bekerja jauh dari rumah, seperti di bidang pertambangan, minyak dan gas, industri pengiriman barang dengan truk dan pengapalan, sering terlibat dalam perilaku berisiko tinggi yang membahayakan diri mereka sendiri, istri mereka, serta anak mereka yang belum dilahirkan.

Richard memperkirakan ada tujuh sampai sembilan juta orang yang secara berkala terlibat dalam kegiatan seks komersial dan di antara mereka kurang dari 10 persen yang memakai kondom secara konsisten. Sebagian besar dari para laki- laki ini adalah karyawan perusahaan.

Jadi, meskipun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan antara 80.000 hingga 120.000 orang di Indonesia terinfeksi HIV saat ini, jumlah itu sebenarnya jauh lebih tinggi kalau melihat realitas sosial yang berkembang.

Richard menunjuk jumlah laki-laki yang perilaku seksnya berisiko, ditambah lebih dari 50 persen pengguna narkotika dan obat terlarang di tempat-tempat rehabilitasi yang terinfeksi HIV, maka sebenarnya 17 juta sampai 19 juta orang di Indonesia rawan terpapar HIV/AIDS di Indonesia. Sekitar 80 persen dari jumlah infeksi terdapat pada mereka yang berusia produktif, antara 20 tahun sampai 49 tahun.

Karena itu, seperti dikemukakan Richard, tempat kerja merupakan salah satu saluran yang mungkin untuk mendiskusikan secara terbuka mengenai risiko HIV/AIDS dan cara-cara untuk menghindari penularannya. Pencegahan dibutuhkan dengan biaya yang jauh lebih kecil (per karyawan) serta dapat menghindarkan konsekuensi keuangan dan sosial yang serius. Secara nasional, dampaknya juga tak kecil. Haryono dari Apindo menjelaskan, kalau prevalensi HIV mencapai 20-30 persen, GDP suatu negara akan turun sampai 30 persen.

Karena itu, Kepmen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No KEP/68/MEN/2004 yang merupakan tindak lanjut dari Komitmen Deklarasi Tripartit tahun 2003 itu terasa melegakan banyak pihak. Menurut Direktur ILO di Indonesia Alan Boulton, Kepmen itu memperlihatkan keinginan Indonesia untuk menjalankan program penanggulangan AIDS selangkah lebih maju.

Deputi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang juga Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS dr Farid W Husain mengemukakan pentingnya sinergi dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. "Pemerintah tak bisa berjalan sendiri," katanya.

Kepmen itu penting sekali karena ada indikator jutaan orang terpapar HIV, apalagi angka kemiskinan dan pengangguran yang bertambah di Indonesia, sambung Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi.

Aspek pengangguran merupakan salah satu aspek ketenagakerjaan dalam kaitannya dengan HIV/AIDS, juga disinggung Mennakertrans Jacob Nuwa Wea. Jacob Nuwa Wea mengungkapkan, lima daerah yang saat ini sangat rawan menjadi tempat penyebaran HIV, yakni Batam, Tanjung Pinang, dan Tanjung Balai di Riau, Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Bali.

"Kecenderungan meningkatnya jumlah orang yang terinfeksi HIV membutuhkan perlindungan yang maksimal," ujar Jacob seraya memperingatkan pentingnya memerhatikan lokasi tempat kerja yang terisolasi. Ia kembali menegaskan, sebagian besar infeksi HIV terjadi pada penduduk berusia produktif sehingga sosialisasi pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS merupakan upaya yang harus dilakukan.

KEPMEN yang diluncurkan pada peringatan Hari Kesehatan dan Keselamatan Kerja Sedunia pada tanggal 28 April itu mewajibkan perusahaan melakukan upaya pencegahan HIV/AIDS kepada pekerjanya melalui komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai HIV/AIDS, termasuk cara-cara menghindari infeksi.

Dalam Kepmen yang penyusunannya berdasarkan Kaidah ILO tentang HIV/AIDS dan Dunia Kerja serta peraturan pemerintah lainnya, secara jelas dinyatakan, status HIV/AIDS pekerja atau calon pekerja tidak bisa dijadikan syarat kerja atau status kerja. Juga menyatakan, informasi yang diperoleh dari kegiatan konseling, tes HIV (yang dilakukan atas dasar kesukarelaan dengan persetujuan tertulis dari pekerja yang bersangkutan), pengobatan, perawatan dan kegiatan lainnya harus dijaga kerahasiaannya, seperti berlaku bagi data rekam medis.

Saat diskusi mengenai Kepmen tersebut sedang berlangsung, di luar ruangan, Yanti (38) berbincang dengan beberapa temannya yang tergabung dalam Tegak Tegar, suatu organisasi nirlaba dari komunitas orang dengan HIV/AIDS. Matanya berbinar. Senyumnya ceria. Ia menjawab pertanyaan reporter dari satu stasiun televisi swasta dengan tegas dan jelas. Tak tampak bayang kesedihan di wajahnya.

Padahal, ia adalah salah satu korban diskriminasi di tempat kerja. Satu setengah tahun lalu, ia dipaksa untuk keluar dari perusahaan swasta tempatnya bekerja ketika dugaan ia terinfeksi HIV menyebar di antara teman-teman sekerja. "Suamiku meninggal karena AIDS," tutur ibu dua anak ini. Pasangan itu menikah pada tahun 1996. Anaknya yang pertama lahir pada tahun 1997.

Pada tahun 2000, ia melahirkan anaknya yang kedua. Tak berapa lama, Yanti menemui kenyataan pahit. Suaminya meninggal karena AIDS. Di kantor, kepala bagian yang menduga Yanti terinfeksi HIV membuat surat pernyataan untuk mencari dukungan dari karyawan lain agar Yanti dikeluarkan.

"Waktu itu tubuh saya memang makin kurus karena saya belum minum obat," katanya. Yanti pernah melakukan tes viral load untuk mengetahui kandungan virus di dalam darah dan tes CD4 yang menjadi tolok ukur tingkat kekebalan tubuh di dalam darah. "Infeksi HIV menyebabkan jumlah virus meningkat dan CD4 turun," kata dr Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana. Dua tes itu, menurut Yanti, dibiayai perusahaan. "Lumayan mahal. Sekitar Rp 1,6 juta waktu itu," ujarnya.

Setelah surat pernyataan yang dibuat oleh kepala bagiannya itu mendapat dukungan dari teman-teman kerjanya, Yanti dipanggil oleh pemimpin perusahaan. Ia diminta mengundurkan diri. Supaya perusahaan tidak menemui kesulitan di kemudian hari, Yanti diminta membuat pernyataan mengundurkan diri dengan alasan mengasuh anak. "Saya mendapat pesangon karena sudah 10 tahun bekerja di situ," ujarnya.

Si bungsu yang usianya kini 3,5 tahun juga terinfeksi. "Ia terus saja diare," katanya. Yanti saat ini menerima bantuan dari MSF (Medecins Sans Frontieres), lembaga bantuan pengobatan dan kemanusiaan independen dan lintas batas, untuk pengobatan. "Obat-obat antiretroviral itu harganya sekitar Rp 370.000 per bulan," ujarnya.

Antiretroviral yang beredar di Indonesia adalah obat generik produksi dalam negeri. Kedisplinan minum obat bisa membuat viral load di dalam darah tidak terdeteksi lagi dan meningkatkan CD4. Dalam kondisi seperti itu, orang-orang dengan HIV/AIDS bisa tetap produktif. Namun, kalau ia tidak disiplin minum obat, virus yang "bersembunyi" di dalam kelenjar getah bening itu akan keluar dan menjadi resisten.

Pendekatan moral yang dikukuhi sebagian besar anggota masyarakat menyebabkan diskriminasi berganda terhadap orang dengan HIV/AIDS; diskriminasi karena terinfeksi HIV dan diskriminasi lanjutan berdasarkan dari mana mereka terinfeksi. Diskriminasi seperti ini menambah beban berat orang-orang dengan HIV yang harus melawan penyakit, sekaligus stigma yang menyertainya.

Kepmen ini, meski masih harus menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, paling tidak, akan memberikan rambu-rambu bagi diskriminasi dan stigmatisasi yang mungkin dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawan dengan HIV/AIDS. (mh)

Jumat, 07 Mei 2004

Tempat Kerja Masih Rentan Penularan AIDS

SINAR HARAPAN - Kondisi tempat kerja juga sangat berpengaruh pada penularan penyakit AIDS. Di Indonesia, minimnya fasilitas bagi pekerja cukup memungkinkan terjadinya hubungan seks bebas sehingga penularan AIDS terus meningkat.

”Kondisi tempat kerja seperti mes yang tak terpisah antar pekerja lelaki dengan pekerja perempuan sangat berpotensi memancing seks bebas,” ujar Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Jacob Nuwa Wea kepada pers di Jakarta, Kamis (6/5).
Menyikapi hal tersebut Depnakertrans telah mengadakan program-program edukasi dan pedoman pencegahan AIDS di tempat kerja. Pihak Depnakertrans juga bekerja sama dengan badan perburuhan dunia, International Labour Organization (ILO) untuk mengatasi masalah penularan AIDS di lokasi kerja.

Penghargaan. Dari seluruh kasus yang dilaporkan, lebih dari 80 persen berasal dari kelompok usia produktif. Sebagian dari kelompok usia ini ada di lembaga pendidikan dan dunia kerja.
Demi menumbuhkan kepedulian dunia usaha mengenai pentingnya upaya pencegahan AIDS bagi karyawannya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), UNAIDS dan ILO memberikan penghargaan bagi perusahaan yang dianggap peduli terhadap hal tersebut.

Tahun ini ditetapkan enam perusahaan yang dianggap cukup peduli terhadap program pencegahan penularan AIDS di tempat kerja. Perusahaan penerima Penghargaan Peduli AIDS tersebut adalah Perum Perumnas, PT Bank Tabungan Negara (BTN), PT Gajah Tunggal Tbk, PT Krakatau Steel, PT Ricky Putra Globalindo dan Standard Chartered Bank. Penghargaan tersebut berupa plakat dengan simbol pita merah bertuliskan ”Perusahaan Peduli AIDS”.

Sudah 24 perusahaan yang berasal dari Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku dan Papua memperoleh penghargaan tersebut. Penghargaan ini merupakan apresiasi terhadap kepedulian perusahaan yang telah melakukan upaya penyebarluasan informasi HIV/AIDS di lingkungan kerjanya.

Salah satu pemenangnya, yakni PT Gajah Tunggal Tbk adalah perusahaan yang sebagian besar karyawannya laki-laki. Perusahaan yang bergerak di bidang industri ban ini memiliki kepedulian yang cukup tinggi pada kerentanan penularan HIV/AIDS di tempat kerja.

Peduli Karyawan. PT Gajah Tunggal Tbk sejak beberapa tahun belakangan ini telah melakukan serangkaian kegiatan yang sengaja ditetapkan untuk pencegahan AIDS dan HIV. Kegiatan tersebut antara lain penyuluhan kepada staf, manajer dan karyawan yang menjadi tim inti pendidik. Mereka membuat alat peraga untuk pemasangan kondom dari karet, kayu dan lilin. Mereka juga memasang spanduk di tempat-tempat strategis seperti pintu masuk, ruang parkir mobil dan ruang kantin pekerja.

Gajah Tunggal juga menyiapkan pojok konseling, kotak pertanyaan dan curhat mengenai HIV/AIDS di beberapa tempat. Di samping itu PT Gajah Tunggal juga mengadakan diskusi kesehatan, malam renungan AIDS dan kuis peduli AIDS.

Kasus HIV/AIDS di Indonesia dilaporkan pertama kali pada tahun 1987. Sampai akhir tahun 2003 jumlah kasus yang dilaporkan 4.091 kasus. Namun jumlah kasus sebenarnya diprediksikan sudah mencapai 90.000 sampai 130.000. Jumlah penderitanya terbanyak berasal di DKI Jakarta, menyusul Papua, Jawa Timur, Riau (Batam) dan Bali. (mer)