Minggu, 17 September 2006

CATHARINA WIDJAJA : Pentingnya Keseimbangan Hidup

Kesibukan kerja seharusnya tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk aktif dalam kegiatan sosial. Karena sebagai makhluk sosial, manusia harus berbagi kasih kepada orang lain. Sebab, itulah keseimbangan hidup. Prinsip tersebut sangat dipegang Catharina Widjaja (43) . Kendati, sehari-hari sangat disibukkan dengan tugas utamanya sebagai Direktur PT Gajah Tunggal Tbk dan mengelola sejumlah resto di Jakarta, Chatarina tetap punya waktu untuk aktif dalam organisasi sosial, seperti United in Diversity (UID) dan Delegasi Cinta Anak Bangsa.

"Semua itu bisa dilakukan dengan menggunakan manajemen waktu, bagaimana menentukan prioritas serta pendelegasian kerja. Karena tangan kita kan hanya dua, sehingga kita harus pandai-pandai membuat pendelegasian. Dan yang tak kalah penting adalah komunikasi. Bila komunikasi lancar, semua urusan beres," kata Catharina dalam percakapan dengan Suara Karya disela-sela acara donasi sekitar 50 kursi roda dari Wheelchair Foundation kepada Pemerintah Indonesia yang diwakilkan istri Menko Kesra, Ny Tatty Aburizal Bakrie, di Jakarta, Jumat (15/9).

Wheelchair Foundation merupakan organisasi nirlaba asal Amerika yang aktif memberikan donasi lewat UID. Hal itu didasarkan atas banyak anak Indonesia yang memiliki talenta luar biasa, namun terkendala oleh cacat fisik. Bantuan kursi roda itu langsung diberikan kepada penyandang cacat yang tergabung dalam Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia.

"Bantuan dari Wheelchair Foundation sebenarnya ada 280 kursi roda. Dari jumlah itu, 180 kursi roda sudah kami salurkan ke sejumlah organisasi penyandang cacat lainnya seperti Yayasan Bhakti Luhur, Yayasan Senang Hati, Yayasan Siswa Terpadu dan Wisma Chesshire," kata anggota Dewa Pembina UID dengan senyumnya yang khas.

Ibu tiga anak yang telah beranjak dewasa ini mengemukakan, keterlibatannya dalam organisasi sosial UID dimulai dari ajakan Cherry Nursalim,sebagai salah satu dewan pengurus sekaligus putri dari pemilik Grup Gajah Tunggal. UID dibentuk atas dasar pemikiran bahwa perekonomian Indonesia sulit untuk maju karena kurangnya komunikasi antara tiga sektor penggerak utama yaitu sektor swasta, pemerintah dan masyarakat.

"Misi UID adalah memupuk kerjasama antara ketiga sektor tersebut agar bersama-sama berkomitmen membangun dan memperbaiki taraf hidup masyarakat Indonesia," katanya.

UID sendiri didirikan bersama oleh Sekolah Manajemen MIT Sloan, Universitas Indonesia dan Sinar Harapan pada tahun 2003. UID menyatukan wakil-wakil dari berbagai sektor, seperti pemerintahan, institusi global, bisnis, akademik dan masyarakat umum yang bertujuan untuk mengajak sektor swasta terlibat aktif memajukan sektor publik untuk pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.

"Pembentukan UID ini berawal ketika Pemimpin Sinar Harapan, Aristides Katopo berpidato dalam sebuah acara di sebuah kota di Amerika. Pada kesempatan itu, mereka banyak bertanya tentang kerusuhan yang terjadi di Indonesia pasca kerusuhan Mei 1998 lalu. Pada kesempatan itu, lalu terpikir untuk membentuk organisasi sosial yang menegaskan bahwa Indonesia tetap bersatu meski memiliki keanekaragaman budaya (united in diversity). Meski ada kerusuhan, tidak ada perpecahan di dalamnya," kata Catharina menegaskan.

Ide pembentukan itu mendapat sambutan tidak saja dari sejumlah tokoh di Indonesia, tetapi juga negarawan dari luar negeri seperti Bill Clinton, Pangeran Albert dari Monaco. Terlebih setelah Indonesia dilanda tsunami, mata asing kembali terbuka tentang kondisi sosial ekonomi di Indonesia. Setelah itu, bantuan dana mengalir dari asing lewat UID.

"Kami baru saja selesai membangun sekitar 240 rumah di Kampung Sirimbo, Nias, Sumatera Utara. Dana itu merupakan donasi dari Kerajaan Monaco," tuturnya.

Catharina mengungkapkan, saat ini ada sekitar 20 perusahaan asing yang memberi donasi kepada UID untuk "membangun" pendidikan di Indonesia, baik lewat perbaikan gedung sekolah maupun program beasiswa. "Kami sedang membuat perencanaan tentang perbaikan gedung sekolah yang tidak berbenturan dengan program pemerintah," ucapnya.

Tentang program beasiswa, Catharina mengatakan, untuk program beasiswa jumlahnya tidak banyak. Karena ada pergeseran fokus kegiatan yang lebih mengarah pada pemberdayaan generasi muda. Bentuknya berupa pembekalan bagi lulusan sekolah menengah atas (SMA) terkait dengan rencana masa depannya.

"Dari banyak pengalaman, banyak lulusan SMA kita yang tidak tahu mau kemana setelah lulus dari sekolah. Tidak tahu apa saja yang harus dirancang untuk membangun karier sesuai dengan cita-citanya. Padahal, anak-anak Indonesia memiliki potensi yang luar biasa," kata Catharina.

Nantinya, lanjut Catharina, pihak UID akan berkeliling SMA di Indonesia, untuk memberi masukan kepada anak-anak SMA untuk merancang kariernya sejak dini, yaitu bangku SMA. Dengan demikian, mereka sudah tahu dan fokus terhadap kegiatan yang akan membawa mereka menuju cita-citanya.

"Kami juga membuat kegiatan untuk para siswa yang memiliki jiwa kepemimpinan untuk menjadi sebagai young leader bagi kemajuan generasi muda Indonesia di masa depan," tutur Catharina.

Melihat perjalanan karir Catharina Widjaja, wajar bila ia memimpikan generasi muda Indonesia mampu merancang masa depannya lebih baik. Lulusan jurusan MIPA dari Politeknik Sheffield, Inggris pada tahun 1985 dan gelar MSc dari Universitas Bradford, Inggris ini pernah bekerja di sejumlah perusahaan multinasional. Karier terlamanya adalah 9 tahun di dunia perbankan yang berkoporasi di Hong Kong dan Shanghai. Sebelumnya, kariernya di Deutsche Bank AG, di Jakarta selama dua tahun.

Setelah bekerja pada bank-bank asing selama kurang lebih 10 tahun, Catharina kemudian bergabung dengan Grup Gajah Tunggal. Kepiawaiannya dalam menangani berbagai macam hal yang menyangkut komunikasi dalam grup membuat jenjang karir Catharina terus menanjak. Tahun 2004 lalu ia diangkat menjadi salah satu direktur, khususnya bidang komunikasi di perusahaan yang memproduksi dan memasarkan ban mobil, ban dalam untuk motor, dan suku cadang perangkat berat kendaraan bermotor.

Tentang DCAB, Catharina menjelaskan, organisasi itu merupakan "pemekaran" dari Yayasan Cinta Anak Bangsa -yayasan yang khusus menangani masalah remaja dan narkoba. Sedangkan DCAB bertujuan untuk memberi bantuan kepada mereka yang menderita seperti korban bencana tsunami di Nias, Sumatera Utara dan para penderita busung lapar di Nusa Tenggara Timur.

Kiprah lain Catharia Widjaja dalam kegiatan sosial adalah kepeduliannya pada masalah HIV/AIDS di tempat kerja. Karena belum lama ini, PT Gajah Tunggal Tbk pernah mendapat pengharagan dari ILO (International Labor Organization) dan pemerintah atas prestasinya dalam melaksanakan program pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja.

Ditambahkan, implementasi dari program pencegahan HIV/AIDS langsung diterapkan di tingkat top manajemen. Kemudian, banyak yang bertanya-tanya kenapa harus dimulai dari mereka. Setelah itu, proses berlanjut hingga ke seluruh karyawan lewat pemeriksaan untuk melihat kemungkinan mereka terkena virus HIV atau tidak.

Pihak perusahaan menyediakan konseling 4 mata untuk menjaga kerahasiaan penderita. Pada kesempatan itu, mereka bisa bertanya tentang virus yang menyerang daya tahan tubuh manusia, faktor penyebab dan faktor risiko kemungkinan terkena virus HIV dan melihat film dokumentari dari seorang penderita HIV/AIDS yang bertahan dengan penyakitnya, yang disebut Staying Alive.

Perusahaan yang memperkerjakan ribuan tenaga kerja pria itu juga mengajarkan para pekerjanya untuk menggunakan kondom sebagai langkah pencegahan untuk terhindar dari virus HIV.

"Langkah kami selanjutnya adalah memberi pendidikan sekaligus membangun kesadaran para pekerja di perkebunan karet di Sumatera dan masyarakat sekitar pabrik," ucapnya.

PT Gajah Tunggal yang mengklaim dirinya sebagai pabrik bank terbesar di Asia Tenggara memperkerjaan sekitar 20 ribu tenaga kerja di perkebunan di Sumatera.

Ditanya tentang harapan dan target di masa depan, Catharina mengatakan, dirinya tidak memiliki harapan yang muluk-muluk dan berupaya membiarkan hidupnya seperti air mengalir. Ia akan berusaha tetap menyeimbangkan hidupnya antara kerja dan kegiatan sosial. Sebab, itulah sesungguhnya hidup. (Tri Wahyuni)