Minggu, 27 Juli 2008

Kelompok Usaha Perangi AIDS

HARIAN PELITA - PENYEBARAN AIDS di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 9.689 kasus, 82 persen di antaranya menimpa penderita usia produktif 15-49 tahun. Dampaknya AIDS dan penyebaran HIV menjadi masalah dalam dunia bisnis. Untuk mengetahui lebih jauh tentang hal itu, Pelita mewawancarai Ketua Umum Yayasan AIDS Indonesia (YAI), Martina Widjaja.

Penyebaran HIV-AIDS cenderung meningkat terus, apa yang telah dilakukan YAI?
Banyak sekali. Tetapi dalam waktu dekat tepatnya pada hari Minggu, 2 Desember 2008, YAI bersama Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA) menggelar acara jalan santai 5K dan lari 10K, temanya \"Stop AIDS, Start Running\". Rencananya Bapak Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI-Red) akan membuka acara ini dan diharapkan sekitar 8.000 orang dari berbagai kalangan juga ikut terlibat.

Mengapa menggelar acara olahraga?
Begini ya, acara ini kan sekaligus memperingati Hari AIDS se-Dunia yang jatuh pada 1 Desember. Acara seperti ini penting untuk mengingatkan semua orang agar lebih peduli dan dapat menggugah kesadaran masyarakat betapa pentingnya pencegahan penyebaran HIV (human immunodeficiency virus) dan AIDS (adquired immuno deficiency syndrome).
Kenapa dulu kami melibatkan Moge (motor gede) tetapi sekarang tidak, karena sekarang kan ada peringatan pemanasan global, kita harus mengurangi polusi dan menghemat bahan bakar, jadi kami pilih kegiatan jalan kaki dan lari.

Lalu, sejauh mana keterlibatan IBCA?
Saya sangat gembira IBCA dapat terlibat dalam acara tahun ini. Sejak kegiatan ini pertama kali diadakan pada tahun 2001 kami melihat adanya peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat umum mengenai masalah seputar HIV-AIDS.

Tahun ini sasaran kami adalah mempromosikan dan memfasilitasi dunia bisnis dalam mengambil langkah nyata untuk mencegah penyebaran HIV-AIDS di kalangan pekerja di Indonesia. Bersama dengan IBCA kami berharap dapat menggalang dukungan yang signifikan baik dari perorangan, kalangan bisnis maupun media untuk menyuarakan perang melawan HIV-AIDS.

IBCA (Indonesian Business Coalition) memang koalisi yang dibentuk dengan tujuan memperkenalkan dan mengimplementasikan praktik-praktik pencegahan dan penanganan HIV-AIDS di tempat kerja. IBCA bertekad untuk memerangi AIDS bersama kelompok usaha.

Apakah upaya IBCA juga mendorong perusahaan tetap bisa menerima karyawan dengan HIV-AIDS (ODHA)?
Oh ya, tentu. Itu harus diperjuangkan kami termasuk juga IBCA terus mendorong dan mengupayakan agar perusahaan-perusahaan dapat menerapkan kebijakan anti-diskriminasi berkaitan dengan HIV-AIDS. Selain itu, perusahaan diminta menyediakan akses untuk edukasi dan informasi mengenai HIV-AIDS bagi para pekerjanya.

Perusahaan mana saja yang masuk dalam IBCA
Wah, ini sebetulnya yang menjawab Ibu Shinta (Shinta W Kamdani, Ketua IBCA-Red). Perusahaan pendiri IBCA adalah Sintesa Group, Gajah Tunggal, Sinar Mas, PT Freeport Indonesia, BP, Chevron Indo Asia, dan PT Unilever Indonesia Tbk.
Kami berharap banyak perusahaan, organisasi serta perorangan ikut menyukseskan acara Stop AIDS Start Running. Acara jalan santai dan lari ini akan dimeriahkan Band Pasko, Glenn Fredly, Alexa Band, dan Top Forty Geronimo.(dewi purnamasari)

Selasa, 31 Oktober 2006

Membuat Pekerja Sadar akan HIV/AIDS

SUARA PEMBARUAN - Salmon Sinaga, manajer sumber daya manusia PT Filamendo Sakti tidak hanya piawai melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan manajemen karyawan. Ia juga piawai menyampaikan informasi seputar HIV/AIDS kepada karyawan yang jumlahnya 856 orang, mulai dari operator sampai tingkat manajer.

Salmon, adalah satu dari sembilan mentor yang dilatih lembaga swadaya masyarakat Yayasan Kusuma Buana (YKB), yang berkecimpung di sektor kesehatan. Para mentor itu dilatih untuk dapat menyosialisasikan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.

Sejak tahun 2005, ujarnya, ia dan delapan temannya menginformasikan HIV/AIDS kepada karyawan. Sosialisasi dilaksanakan melalui pelatihan selama dua hari di kelas dari pukul 15.00 sampai 17.00.

Satu kelas terdiri atas 30 karyawan. Setelah pelatihan, Salmon dan mentor lainnya mengevaluasi pengetahuan karyawan tentang HIV/AIDS dengan tes pilihan berganda, dan menuliskan informasi HIV/AIDS yang diketahuinya. Bila tidak lulus, karyawan akan tes ulang.

Bila karyawan tidak hadir selama pelatihan, diberi surat peringatan, kecuali ada surat keterangan sakit dari dokter. Tidak itu saja, manajer dari karyawan yang tidak hadir pun diberi surat peringatan.

Begitulah sekilas gambaran sosialisasi HIV/AIDS di PT Filamendo Sakti, perusahaan yang bergerak di bidang benang ban. Tahun ini, perusahaan tersebut menerima penghargaan AIDS Award untuk kategori emas yang diserahkan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie, yang sekaligus menjabat Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional beberapa waktu lalu.

Ada 19 perusahaan yang menerima "AIDS Award" untuk kriteria emas (lima perusahaan), perak (sepuluh perusahaan) dan perunggu (empat perusahaan).

"Setelah dilatih, karyawan wajib menceritakan HIV/AIDS kepada keluarganya, kemudian ke lingkungan. Selain pelatihan, kami juga membuat pin, brosur, dan pamflet tentang HIV/AIDS. Semua kegiatan yang terkait dengan HIV kami laporkan ke induk perusahaan PT Gajah Tunggal Tbk," Salmon menjelaskan.

Lalu, bagaimana bila ada karyawan yang terinfeksi HIV? Menurutnya, perusahaan memiliki kebijakan tidak membedakan karyawan yang terinfeksi HIV. Mereka tetap bekerja dan mendapatkan asuransi kesehatan. Ia menegaskan, tidak ada diskriminasi terhadap pengidap HIV.

Usia Produktif

Dampak epidemi AIDS terhadap dunia usaha tidak bisa dihindarkan. Fakta menunjukkan, sebagian besar kasus infeksi HIV terjadi pada kelompok usia produktif. Data International Labor Organization (ILO), dari 40 juta orang yang terinfeksi HIV di seluruh dunia, 25 juta di antaranya adalah pekerja.

Di Indonesia, sembilan dari sepuluh orang yang terinfeksi berada dalam kelompok usia kerja produkif, yang berusia 19 sampai 39 tahun. Kondisi itu juga diperburuk dengan kenyataan sejumlah pekerja yang terpisah jauh dari keluarga dalam waktu yang lama mencari hiburan dengan berhubungan seks berganti-ganti pasangan tanpa kondom. Data Departeman Kesehatan tahun 2002 memperlihatkan, sekitar tujuh juta sampai sepuluh juta laki-laki yang menjadi pelanggan seks komersial. Sebagian besar adalah pekerja, dan kurang dari sepuluh persen yang konsisten menggunakan kondom.

Kondisi semacam itu, ujar Direktur Pelayanan Kesehatan YKB dr Adi Sasongko MA, yang membuat kasus AIDS terus meningkat.

"Belum banyak perusahaan yang menyosialisasikan HIV/AIDS di tempat kerja. Masih banyak anggapan tidak benar tentang HIV/AIDS. Misalnya dianggap mudah menular, penyakit yang tidak benar, penularan di luar tempat kerja, sehingga karyawan yang terinfeksi HIV dikucilkan, dipecat dan biaya kesehatannya tidak ditanggung," kata Adi.

Menurutnya, perusahaan akan memperoleh manfaat bila melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. Karena, para pekerja adalah orang-orang yang berusia produktif sehingga masih memiliki waktu yang panjang untuk bisa berkarya. Terlebih lagi, penularan HIV tidak segampang penularan penyakit lain seperti tuberkulosis (TBC). HIV menular melalui hubungan seks yang tidak aman, dan pemakaian jarum suntik tidak steril, khususnya pada pemakai narkoba suntik.

Sejumlah warga negara Papua Nugini melintasi papan peringatan terhadap bahaya penyakit AIDS di Kantor Imigrasi Papua Nugini di Perbatasan RI-Papua Nugini, Skouw, Papua, Minggu (15/01/06). Tingginya tingkat penyebaran AIDS di wilayah Papua menyebabkan Pemprov Papua dan Pemerintah Papua Nugini melakukan kampanye bersama pencegahan AIDS. [Pembaruan/Jurnasyanto Sukarno]

Depresi

Adi menggambarkan kerugian perusahaan bila memecat dan mendiskriminasi karyawan yang terinfeksi HIV. Perusahaan harus mengganti karyawan, yang belum tentu memiliki keterampilan seperti karyawan lama. Untuk itu, perusahaan harus merekrut dan melatih karyawan baru, yang semuanya memerlukan waktu dan biaya.

Diskriminasi yang dilakukan orang sekitar, katanya, justru membuat pengidap HIV depresi dan penyakit itu yang bisa membuat seorang pengidap HIV meninggal. Jadi bukan karena AIDS.

Dalam sejarahnya, ujar dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu justru kebijakan pemerintah yang bersifat diskriminasi. Ada peraturan Departemen Tenaga Kerja yang menyebutkan, karyawan yang terinfeksi HIV, mengidap penyakit menular seksual, pemakai narkoba diperkecualikan dari pelayanan kesehatan di tempat kerja. Inilah yang melatarbelakangi asuransi kesehatan tidak menanggung biaya kesehatan karyawan dengan penyakit-penyakit tersebut.

"Ironisnya banyak pihak yang menjadi hakim, dan menganggap dirinya tidak berdosa sehingga mengucilkan mereka. Sementara, dunia global menolak hal semacam ini," katanya.

Adi menambahkan, dengan tujuan pencegahan dan menghilangkan diskriminasi terhadap pekerja yang terinfeksi HIV, kriteria penghargaan AIDS Award pun terdiri dari penyuluhan, pelatihan, penyebaran informasi HIV/AIDS di tempat kerja. Upaya itu didukung oleh kebijakan perusahaan yang nondiskriminasi. Kriteria lain adalah, perusahaan mengalokasi waktu, dana, dan memberi kesempatan kepada karyawan untuk mengikuti pelatihan. Lebih baik lagi, ujarnya, bila ada upaya menjangkau masyarakat sekitar lingkungan kerja. [Pembaruan/Nancy Nainggolan]

Minggu, 17 September 2006

CATHARINA WIDJAJA : Pentingnya Keseimbangan Hidup

Kesibukan kerja seharusnya tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk aktif dalam kegiatan sosial. Karena sebagai makhluk sosial, manusia harus berbagi kasih kepada orang lain. Sebab, itulah keseimbangan hidup. Prinsip tersebut sangat dipegang Catharina Widjaja (43) . Kendati, sehari-hari sangat disibukkan dengan tugas utamanya sebagai Direktur PT Gajah Tunggal Tbk dan mengelola sejumlah resto di Jakarta, Chatarina tetap punya waktu untuk aktif dalam organisasi sosial, seperti United in Diversity (UID) dan Delegasi Cinta Anak Bangsa.

"Semua itu bisa dilakukan dengan menggunakan manajemen waktu, bagaimana menentukan prioritas serta pendelegasian kerja. Karena tangan kita kan hanya dua, sehingga kita harus pandai-pandai membuat pendelegasian. Dan yang tak kalah penting adalah komunikasi. Bila komunikasi lancar, semua urusan beres," kata Catharina dalam percakapan dengan Suara Karya disela-sela acara donasi sekitar 50 kursi roda dari Wheelchair Foundation kepada Pemerintah Indonesia yang diwakilkan istri Menko Kesra, Ny Tatty Aburizal Bakrie, di Jakarta, Jumat (15/9).

Wheelchair Foundation merupakan organisasi nirlaba asal Amerika yang aktif memberikan donasi lewat UID. Hal itu didasarkan atas banyak anak Indonesia yang memiliki talenta luar biasa, namun terkendala oleh cacat fisik. Bantuan kursi roda itu langsung diberikan kepada penyandang cacat yang tergabung dalam Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia.

"Bantuan dari Wheelchair Foundation sebenarnya ada 280 kursi roda. Dari jumlah itu, 180 kursi roda sudah kami salurkan ke sejumlah organisasi penyandang cacat lainnya seperti Yayasan Bhakti Luhur, Yayasan Senang Hati, Yayasan Siswa Terpadu dan Wisma Chesshire," kata anggota Dewa Pembina UID dengan senyumnya yang khas.

Ibu tiga anak yang telah beranjak dewasa ini mengemukakan, keterlibatannya dalam organisasi sosial UID dimulai dari ajakan Cherry Nursalim,sebagai salah satu dewan pengurus sekaligus putri dari pemilik Grup Gajah Tunggal. UID dibentuk atas dasar pemikiran bahwa perekonomian Indonesia sulit untuk maju karena kurangnya komunikasi antara tiga sektor penggerak utama yaitu sektor swasta, pemerintah dan masyarakat.

"Misi UID adalah memupuk kerjasama antara ketiga sektor tersebut agar bersama-sama berkomitmen membangun dan memperbaiki taraf hidup masyarakat Indonesia," katanya.

UID sendiri didirikan bersama oleh Sekolah Manajemen MIT Sloan, Universitas Indonesia dan Sinar Harapan pada tahun 2003. UID menyatukan wakil-wakil dari berbagai sektor, seperti pemerintahan, institusi global, bisnis, akademik dan masyarakat umum yang bertujuan untuk mengajak sektor swasta terlibat aktif memajukan sektor publik untuk pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.

"Pembentukan UID ini berawal ketika Pemimpin Sinar Harapan, Aristides Katopo berpidato dalam sebuah acara di sebuah kota di Amerika. Pada kesempatan itu, mereka banyak bertanya tentang kerusuhan yang terjadi di Indonesia pasca kerusuhan Mei 1998 lalu. Pada kesempatan itu, lalu terpikir untuk membentuk organisasi sosial yang menegaskan bahwa Indonesia tetap bersatu meski memiliki keanekaragaman budaya (united in diversity). Meski ada kerusuhan, tidak ada perpecahan di dalamnya," kata Catharina menegaskan.

Ide pembentukan itu mendapat sambutan tidak saja dari sejumlah tokoh di Indonesia, tetapi juga negarawan dari luar negeri seperti Bill Clinton, Pangeran Albert dari Monaco. Terlebih setelah Indonesia dilanda tsunami, mata asing kembali terbuka tentang kondisi sosial ekonomi di Indonesia. Setelah itu, bantuan dana mengalir dari asing lewat UID.

"Kami baru saja selesai membangun sekitar 240 rumah di Kampung Sirimbo, Nias, Sumatera Utara. Dana itu merupakan donasi dari Kerajaan Monaco," tuturnya.

Catharina mengungkapkan, saat ini ada sekitar 20 perusahaan asing yang memberi donasi kepada UID untuk "membangun" pendidikan di Indonesia, baik lewat perbaikan gedung sekolah maupun program beasiswa. "Kami sedang membuat perencanaan tentang perbaikan gedung sekolah yang tidak berbenturan dengan program pemerintah," ucapnya.

Tentang program beasiswa, Catharina mengatakan, untuk program beasiswa jumlahnya tidak banyak. Karena ada pergeseran fokus kegiatan yang lebih mengarah pada pemberdayaan generasi muda. Bentuknya berupa pembekalan bagi lulusan sekolah menengah atas (SMA) terkait dengan rencana masa depannya.

"Dari banyak pengalaman, banyak lulusan SMA kita yang tidak tahu mau kemana setelah lulus dari sekolah. Tidak tahu apa saja yang harus dirancang untuk membangun karier sesuai dengan cita-citanya. Padahal, anak-anak Indonesia memiliki potensi yang luar biasa," kata Catharina.

Nantinya, lanjut Catharina, pihak UID akan berkeliling SMA di Indonesia, untuk memberi masukan kepada anak-anak SMA untuk merancang kariernya sejak dini, yaitu bangku SMA. Dengan demikian, mereka sudah tahu dan fokus terhadap kegiatan yang akan membawa mereka menuju cita-citanya.

"Kami juga membuat kegiatan untuk para siswa yang memiliki jiwa kepemimpinan untuk menjadi sebagai young leader bagi kemajuan generasi muda Indonesia di masa depan," tutur Catharina.

Melihat perjalanan karir Catharina Widjaja, wajar bila ia memimpikan generasi muda Indonesia mampu merancang masa depannya lebih baik. Lulusan jurusan MIPA dari Politeknik Sheffield, Inggris pada tahun 1985 dan gelar MSc dari Universitas Bradford, Inggris ini pernah bekerja di sejumlah perusahaan multinasional. Karier terlamanya adalah 9 tahun di dunia perbankan yang berkoporasi di Hong Kong dan Shanghai. Sebelumnya, kariernya di Deutsche Bank AG, di Jakarta selama dua tahun.

Setelah bekerja pada bank-bank asing selama kurang lebih 10 tahun, Catharina kemudian bergabung dengan Grup Gajah Tunggal. Kepiawaiannya dalam menangani berbagai macam hal yang menyangkut komunikasi dalam grup membuat jenjang karir Catharina terus menanjak. Tahun 2004 lalu ia diangkat menjadi salah satu direktur, khususnya bidang komunikasi di perusahaan yang memproduksi dan memasarkan ban mobil, ban dalam untuk motor, dan suku cadang perangkat berat kendaraan bermotor.

Tentang DCAB, Catharina menjelaskan, organisasi itu merupakan "pemekaran" dari Yayasan Cinta Anak Bangsa -yayasan yang khusus menangani masalah remaja dan narkoba. Sedangkan DCAB bertujuan untuk memberi bantuan kepada mereka yang menderita seperti korban bencana tsunami di Nias, Sumatera Utara dan para penderita busung lapar di Nusa Tenggara Timur.

Kiprah lain Catharia Widjaja dalam kegiatan sosial adalah kepeduliannya pada masalah HIV/AIDS di tempat kerja. Karena belum lama ini, PT Gajah Tunggal Tbk pernah mendapat pengharagan dari ILO (International Labor Organization) dan pemerintah atas prestasinya dalam melaksanakan program pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja.

Ditambahkan, implementasi dari program pencegahan HIV/AIDS langsung diterapkan di tingkat top manajemen. Kemudian, banyak yang bertanya-tanya kenapa harus dimulai dari mereka. Setelah itu, proses berlanjut hingga ke seluruh karyawan lewat pemeriksaan untuk melihat kemungkinan mereka terkena virus HIV atau tidak.

Pihak perusahaan menyediakan konseling 4 mata untuk menjaga kerahasiaan penderita. Pada kesempatan itu, mereka bisa bertanya tentang virus yang menyerang daya tahan tubuh manusia, faktor penyebab dan faktor risiko kemungkinan terkena virus HIV dan melihat film dokumentari dari seorang penderita HIV/AIDS yang bertahan dengan penyakitnya, yang disebut Staying Alive.

Perusahaan yang memperkerjakan ribuan tenaga kerja pria itu juga mengajarkan para pekerjanya untuk menggunakan kondom sebagai langkah pencegahan untuk terhindar dari virus HIV.

"Langkah kami selanjutnya adalah memberi pendidikan sekaligus membangun kesadaran para pekerja di perkebunan karet di Sumatera dan masyarakat sekitar pabrik," ucapnya.

PT Gajah Tunggal yang mengklaim dirinya sebagai pabrik bank terbesar di Asia Tenggara memperkerjaan sekitar 20 ribu tenaga kerja di perkebunan di Sumatera.

Ditanya tentang harapan dan target di masa depan, Catharina mengatakan, dirinya tidak memiliki harapan yang muluk-muluk dan berupaya membiarkan hidupnya seperti air mengalir. Ia akan berusaha tetap menyeimbangkan hidupnya antara kerja dan kegiatan sosial. Sebab, itulah sesungguhnya hidup. (Tri Wahyuni)

Senin, 10 Mei 2004

HIV/AIDS adalah Masalah Semua Orang

KOMPAS - SATU setengah tahun lalu, Chery Nursalim bersama suaminya, seorang dokter, berkunjung ke Johannesburg, Afrika Selatan. Di kota itu, mereka mengunjungi delapan rumah sakit, termasuk yang merawat pasien dengan HIV/AIDS. Di sana ia bertemu dengan dua perempuan, ibu dari 12 dan tujuh anak, yang terinfeksi HIV dari para suaminya.

Mereka menceritakan apa yang dialami. Saya merasa sedih karena hal serupa bisa terjadi terhadap perempuan lain di mana saja, ujar Chery sambil memperlihatkan foto dia dan suaminya yang mengapit dua perempuan di Soweto.

Putri mantan pemilik Kelompok Gajah Tunggal ini mengungkapkan pengalamannya di depan sekitar 400 orang yang mengikuti diskusi setelah acara peluncuran Keputusan Menteri (Kepmen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja di sebuah hotel berbintang di Jakarta, Kamis (6/5).

Epidemi HIV/AIDS yang meruyak di Afrika Selatan mengetuk keprihatinan Chery. "Sekitar 10 tahun lalu, baru lima dari 1.000 orang yang terinfeksi. Saat ini tiga dari 10 orang terinfeksi HIV di sana," ujarnya. Ketika kembali, ia membagikan pengalamannya kepada para pemimpin di perusahaan ayahnya.

"Kami beruntung karena prakarsa untuk memberikan informasi dan pendidikan tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pada para pekerja kami datangnya dari top management," ujar Catharina Widjaya, Executive Vice President PT Gadjah Tunggal Tbk.

Untuk menjalankan program ini kepada sekitar 7.500 pekerjanya di Tangerang, perusahaan itu kemudian berhubungan oleh Aksi Stop AIDS dan Yayasan Kusuma Buana. "Sebagian besar pekerja kita berpendidikan rendah sehingga informasi tentang HIV/AIDS sangat dibutuhkan," ujar Catharina. Pelatihan juga diberikan kepada perawat dan dokter perusahaan agar mereka bisa berlaku benar kalau melakukan pendekatan personal terhadap pasiennya.

Karena menyadari bahwa HIV/AIDS berkaitan erat dengan narkoba, perusahaan itu akan bekerja sama dengan Yayasan Visi Anak Bangsa untuk pencegahan narkoba dan obat terlarang di kalangan pekerja dan lingkungannya. "Pekerja kami di Indonesia mencapai 34.000," ujar Catharina. Program ini akan dikembangkan kepada pekerja PT Gajah Tunggal yang tersebar di tempat lain.

PT Gajah Tunggal merupakan satu dari enam perusahaan yang mendapatkan Penghargaan Peduli AIDS dari Yayasan Kusuma Buana yang bekerja sama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Badan PBB untuk Pencegahan dan Penanggulangan AIDS (UNAIDS), serta Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).

Bersama lima perusahaan lainnya, yakni PT Krakatau Steel, PT Ricky Putra Globalindo, PT Bank Tabungan Negara, Perum Perumnas, dan Standard Chartered Bank, mereka dinilai telah melakukan upaya penyebarluasan informasi mengenai HIV/AIDS di lingkungan kerjanya, termasuk adanya kebijakan perusahaan untuk melaksanakan program pencegahan HIV/AIDS secara berkesinambungan. Kelima perusahaan ini menyusul 24 perusahaan lain yang mendapatkan penghargaan sama sejak tahun 1997.

Dr Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana (YKB) merasa sangat lega dengan keluarnya Kepmen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. Sejak tahun 1993, YKB telah merintis upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja dan telah melakukan advokasi serta koordinasi dengan Departemen Tenaga Kerja.

"Kepmen itu dikeluarkan ketika proses sudah berlangsung di bawah. Kepmen tersebut menaungi seluruh upaya di bawah," ujarnya. Keluarnya Kepmen ini mendapat dukungan penuh dari Aksi Atop AIDS dan Indonesian HIV/AIDS Prevention and Care Project yang dibantu AUSAID.

Dalam perjalanannya kemudian, ada lembaga lain yang bergerak di bidang yang sama, yakni Komite Kemanusiaan Indonesia (KKI). Bank Tabungan Negara, misalnya, menurut Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Sunarwa, bekerja sama dengan KKI dalam mengembangkan program pencegahan HIV/AIDS di lingkungan karyawan dan debitur BTN.

MENURUT Catharina Widjaya, program pencegahan ini merupakan salah satu bentuk dari tanggung jawab dan akuntabilitas perusahaan dalam upaya mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS. Namun, seperti dikemukakan Richard Howard dari Aksi Stop Aids (ASA) AUSAID, kalau kita tidak memetik pelajaran dari Afrika Selatan, biaya yang harus dikeluarkan perusahaan akan sangat besar.

Dalam diskusi yang dipandu oleh Nurul Arifin dan Taufik dari ILO, Richard memaparkan hasil penelitian di Bostwana, Afrika, yang menyatakan, biaya untuk menanggulangi AIDS membutuhkan lima sampai sembilan persen dari komponen biaya pekerja. "Setiap hari, 10 persen pekerja tidak masuk karena penyakit-penyakit yang berkaitan dengan HIV/ AIDS," katanya.

Selain itu, kalau suatu perusahaan membutuhkan satu pekerja baru, yang diterima harus tiga. "Karena yang dua pasti tidak bisa bertahan karena sudah terinfeksi HIV," kata Richard. "Kita bisa mengatakan bahwa budaya di Indonesia berbeda dengan di Afrika. Tetapi, di Afrika 10 tahun lalu keadaannya tak jauh berbeda dengan kita di Indonesia saat ini," katanya.

Richard menjelaskan, sebagaimana di belahan dunia yang lain, unsur-unsur awal epidemi HIV/AIDS nasional yang berskala besar, unsur-unsur awalnya adalah "Laki-laki, Mobilitas dan Uang."

Para pebisnis yang bepergian untuk urusan bisnis atau mereka yang bekerja jauh dari rumah, seperti di bidang pertambangan, minyak dan gas, industri pengiriman barang dengan truk dan pengapalan, sering terlibat dalam perilaku berisiko tinggi yang membahayakan diri mereka sendiri, istri mereka, serta anak mereka yang belum dilahirkan.

Richard memperkirakan ada tujuh sampai sembilan juta orang yang secara berkala terlibat dalam kegiatan seks komersial dan di antara mereka kurang dari 10 persen yang memakai kondom secara konsisten. Sebagian besar dari para laki- laki ini adalah karyawan perusahaan.

Jadi, meskipun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan antara 80.000 hingga 120.000 orang di Indonesia terinfeksi HIV saat ini, jumlah itu sebenarnya jauh lebih tinggi kalau melihat realitas sosial yang berkembang.

Richard menunjuk jumlah laki-laki yang perilaku seksnya berisiko, ditambah lebih dari 50 persen pengguna narkotika dan obat terlarang di tempat-tempat rehabilitasi yang terinfeksi HIV, maka sebenarnya 17 juta sampai 19 juta orang di Indonesia rawan terpapar HIV/AIDS di Indonesia. Sekitar 80 persen dari jumlah infeksi terdapat pada mereka yang berusia produktif, antara 20 tahun sampai 49 tahun.

Karena itu, seperti dikemukakan Richard, tempat kerja merupakan salah satu saluran yang mungkin untuk mendiskusikan secara terbuka mengenai risiko HIV/AIDS dan cara-cara untuk menghindari penularannya. Pencegahan dibutuhkan dengan biaya yang jauh lebih kecil (per karyawan) serta dapat menghindarkan konsekuensi keuangan dan sosial yang serius. Secara nasional, dampaknya juga tak kecil. Haryono dari Apindo menjelaskan, kalau prevalensi HIV mencapai 20-30 persen, GDP suatu negara akan turun sampai 30 persen.

Karena itu, Kepmen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No KEP/68/MEN/2004 yang merupakan tindak lanjut dari Komitmen Deklarasi Tripartit tahun 2003 itu terasa melegakan banyak pihak. Menurut Direktur ILO di Indonesia Alan Boulton, Kepmen itu memperlihatkan keinginan Indonesia untuk menjalankan program penanggulangan AIDS selangkah lebih maju.

Deputi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang juga Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS dr Farid W Husain mengemukakan pentingnya sinergi dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. "Pemerintah tak bisa berjalan sendiri," katanya.

Kepmen itu penting sekali karena ada indikator jutaan orang terpapar HIV, apalagi angka kemiskinan dan pengangguran yang bertambah di Indonesia, sambung Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi.

Aspek pengangguran merupakan salah satu aspek ketenagakerjaan dalam kaitannya dengan HIV/AIDS, juga disinggung Mennakertrans Jacob Nuwa Wea. Jacob Nuwa Wea mengungkapkan, lima daerah yang saat ini sangat rawan menjadi tempat penyebaran HIV, yakni Batam, Tanjung Pinang, dan Tanjung Balai di Riau, Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Bali.

"Kecenderungan meningkatnya jumlah orang yang terinfeksi HIV membutuhkan perlindungan yang maksimal," ujar Jacob seraya memperingatkan pentingnya memerhatikan lokasi tempat kerja yang terisolasi. Ia kembali menegaskan, sebagian besar infeksi HIV terjadi pada penduduk berusia produktif sehingga sosialisasi pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS merupakan upaya yang harus dilakukan.

KEPMEN yang diluncurkan pada peringatan Hari Kesehatan dan Keselamatan Kerja Sedunia pada tanggal 28 April itu mewajibkan perusahaan melakukan upaya pencegahan HIV/AIDS kepada pekerjanya melalui komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai HIV/AIDS, termasuk cara-cara menghindari infeksi.

Dalam Kepmen yang penyusunannya berdasarkan Kaidah ILO tentang HIV/AIDS dan Dunia Kerja serta peraturan pemerintah lainnya, secara jelas dinyatakan, status HIV/AIDS pekerja atau calon pekerja tidak bisa dijadikan syarat kerja atau status kerja. Juga menyatakan, informasi yang diperoleh dari kegiatan konseling, tes HIV (yang dilakukan atas dasar kesukarelaan dengan persetujuan tertulis dari pekerja yang bersangkutan), pengobatan, perawatan dan kegiatan lainnya harus dijaga kerahasiaannya, seperti berlaku bagi data rekam medis.

Saat diskusi mengenai Kepmen tersebut sedang berlangsung, di luar ruangan, Yanti (38) berbincang dengan beberapa temannya yang tergabung dalam Tegak Tegar, suatu organisasi nirlaba dari komunitas orang dengan HIV/AIDS. Matanya berbinar. Senyumnya ceria. Ia menjawab pertanyaan reporter dari satu stasiun televisi swasta dengan tegas dan jelas. Tak tampak bayang kesedihan di wajahnya.

Padahal, ia adalah salah satu korban diskriminasi di tempat kerja. Satu setengah tahun lalu, ia dipaksa untuk keluar dari perusahaan swasta tempatnya bekerja ketika dugaan ia terinfeksi HIV menyebar di antara teman-teman sekerja. "Suamiku meninggal karena AIDS," tutur ibu dua anak ini. Pasangan itu menikah pada tahun 1996. Anaknya yang pertama lahir pada tahun 1997.

Pada tahun 2000, ia melahirkan anaknya yang kedua. Tak berapa lama, Yanti menemui kenyataan pahit. Suaminya meninggal karena AIDS. Di kantor, kepala bagian yang menduga Yanti terinfeksi HIV membuat surat pernyataan untuk mencari dukungan dari karyawan lain agar Yanti dikeluarkan.

"Waktu itu tubuh saya memang makin kurus karena saya belum minum obat," katanya. Yanti pernah melakukan tes viral load untuk mengetahui kandungan virus di dalam darah dan tes CD4 yang menjadi tolok ukur tingkat kekebalan tubuh di dalam darah. "Infeksi HIV menyebabkan jumlah virus meningkat dan CD4 turun," kata dr Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana. Dua tes itu, menurut Yanti, dibiayai perusahaan. "Lumayan mahal. Sekitar Rp 1,6 juta waktu itu," ujarnya.

Setelah surat pernyataan yang dibuat oleh kepala bagiannya itu mendapat dukungan dari teman-teman kerjanya, Yanti dipanggil oleh pemimpin perusahaan. Ia diminta mengundurkan diri. Supaya perusahaan tidak menemui kesulitan di kemudian hari, Yanti diminta membuat pernyataan mengundurkan diri dengan alasan mengasuh anak. "Saya mendapat pesangon karena sudah 10 tahun bekerja di situ," ujarnya.

Si bungsu yang usianya kini 3,5 tahun juga terinfeksi. "Ia terus saja diare," katanya. Yanti saat ini menerima bantuan dari MSF (Medecins Sans Frontieres), lembaga bantuan pengobatan dan kemanusiaan independen dan lintas batas, untuk pengobatan. "Obat-obat antiretroviral itu harganya sekitar Rp 370.000 per bulan," ujarnya.

Antiretroviral yang beredar di Indonesia adalah obat generik produksi dalam negeri. Kedisplinan minum obat bisa membuat viral load di dalam darah tidak terdeteksi lagi dan meningkatkan CD4. Dalam kondisi seperti itu, orang-orang dengan HIV/AIDS bisa tetap produktif. Namun, kalau ia tidak disiplin minum obat, virus yang "bersembunyi" di dalam kelenjar getah bening itu akan keluar dan menjadi resisten.

Pendekatan moral yang dikukuhi sebagian besar anggota masyarakat menyebabkan diskriminasi berganda terhadap orang dengan HIV/AIDS; diskriminasi karena terinfeksi HIV dan diskriminasi lanjutan berdasarkan dari mana mereka terinfeksi. Diskriminasi seperti ini menambah beban berat orang-orang dengan HIV yang harus melawan penyakit, sekaligus stigma yang menyertainya.

Kepmen ini, meski masih harus menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, paling tidak, akan memberikan rambu-rambu bagi diskriminasi dan stigmatisasi yang mungkin dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawan dengan HIV/AIDS. (mh)

Jumat, 07 Mei 2004

Tempat Kerja Masih Rentan Penularan AIDS

SINAR HARAPAN - Kondisi tempat kerja juga sangat berpengaruh pada penularan penyakit AIDS. Di Indonesia, minimnya fasilitas bagi pekerja cukup memungkinkan terjadinya hubungan seks bebas sehingga penularan AIDS terus meningkat.

”Kondisi tempat kerja seperti mes yang tak terpisah antar pekerja lelaki dengan pekerja perempuan sangat berpotensi memancing seks bebas,” ujar Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Jacob Nuwa Wea kepada pers di Jakarta, Kamis (6/5).
Menyikapi hal tersebut Depnakertrans telah mengadakan program-program edukasi dan pedoman pencegahan AIDS di tempat kerja. Pihak Depnakertrans juga bekerja sama dengan badan perburuhan dunia, International Labour Organization (ILO) untuk mengatasi masalah penularan AIDS di lokasi kerja.

Penghargaan. Dari seluruh kasus yang dilaporkan, lebih dari 80 persen berasal dari kelompok usia produktif. Sebagian dari kelompok usia ini ada di lembaga pendidikan dan dunia kerja.
Demi menumbuhkan kepedulian dunia usaha mengenai pentingnya upaya pencegahan AIDS bagi karyawannya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), UNAIDS dan ILO memberikan penghargaan bagi perusahaan yang dianggap peduli terhadap hal tersebut.

Tahun ini ditetapkan enam perusahaan yang dianggap cukup peduli terhadap program pencegahan penularan AIDS di tempat kerja. Perusahaan penerima Penghargaan Peduli AIDS tersebut adalah Perum Perumnas, PT Bank Tabungan Negara (BTN), PT Gajah Tunggal Tbk, PT Krakatau Steel, PT Ricky Putra Globalindo dan Standard Chartered Bank. Penghargaan tersebut berupa plakat dengan simbol pita merah bertuliskan ”Perusahaan Peduli AIDS”.

Sudah 24 perusahaan yang berasal dari Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku dan Papua memperoleh penghargaan tersebut. Penghargaan ini merupakan apresiasi terhadap kepedulian perusahaan yang telah melakukan upaya penyebarluasan informasi HIV/AIDS di lingkungan kerjanya.

Salah satu pemenangnya, yakni PT Gajah Tunggal Tbk adalah perusahaan yang sebagian besar karyawannya laki-laki. Perusahaan yang bergerak di bidang industri ban ini memiliki kepedulian yang cukup tinggi pada kerentanan penularan HIV/AIDS di tempat kerja.

Peduli Karyawan. PT Gajah Tunggal Tbk sejak beberapa tahun belakangan ini telah melakukan serangkaian kegiatan yang sengaja ditetapkan untuk pencegahan AIDS dan HIV. Kegiatan tersebut antara lain penyuluhan kepada staf, manajer dan karyawan yang menjadi tim inti pendidik. Mereka membuat alat peraga untuk pemasangan kondom dari karet, kayu dan lilin. Mereka juga memasang spanduk di tempat-tempat strategis seperti pintu masuk, ruang parkir mobil dan ruang kantin pekerja.

Gajah Tunggal juga menyiapkan pojok konseling, kotak pertanyaan dan curhat mengenai HIV/AIDS di beberapa tempat. Di samping itu PT Gajah Tunggal juga mengadakan diskusi kesehatan, malam renungan AIDS dan kuis peduli AIDS.

Kasus HIV/AIDS di Indonesia dilaporkan pertama kali pada tahun 1987. Sampai akhir tahun 2003 jumlah kasus yang dilaporkan 4.091 kasus. Namun jumlah kasus sebenarnya diprediksikan sudah mencapai 90.000 sampai 130.000. Jumlah penderitanya terbanyak berasal di DKI Jakarta, menyusul Papua, Jawa Timur, Riau (Batam) dan Bali. (mer)