Selasa, 31 Oktober 2006

Membuat Pekerja Sadar akan HIV/AIDS

SUARA PEMBARUAN - Salmon Sinaga, manajer sumber daya manusia PT Filamendo Sakti tidak hanya piawai melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan manajemen karyawan. Ia juga piawai menyampaikan informasi seputar HIV/AIDS kepada karyawan yang jumlahnya 856 orang, mulai dari operator sampai tingkat manajer.

Salmon, adalah satu dari sembilan mentor yang dilatih lembaga swadaya masyarakat Yayasan Kusuma Buana (YKB), yang berkecimpung di sektor kesehatan. Para mentor itu dilatih untuk dapat menyosialisasikan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.

Sejak tahun 2005, ujarnya, ia dan delapan temannya menginformasikan HIV/AIDS kepada karyawan. Sosialisasi dilaksanakan melalui pelatihan selama dua hari di kelas dari pukul 15.00 sampai 17.00.

Satu kelas terdiri atas 30 karyawan. Setelah pelatihan, Salmon dan mentor lainnya mengevaluasi pengetahuan karyawan tentang HIV/AIDS dengan tes pilihan berganda, dan menuliskan informasi HIV/AIDS yang diketahuinya. Bila tidak lulus, karyawan akan tes ulang.

Bila karyawan tidak hadir selama pelatihan, diberi surat peringatan, kecuali ada surat keterangan sakit dari dokter. Tidak itu saja, manajer dari karyawan yang tidak hadir pun diberi surat peringatan.

Begitulah sekilas gambaran sosialisasi HIV/AIDS di PT Filamendo Sakti, perusahaan yang bergerak di bidang benang ban. Tahun ini, perusahaan tersebut menerima penghargaan AIDS Award untuk kategori emas yang diserahkan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie, yang sekaligus menjabat Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional beberapa waktu lalu.

Ada 19 perusahaan yang menerima "AIDS Award" untuk kriteria emas (lima perusahaan), perak (sepuluh perusahaan) dan perunggu (empat perusahaan).

"Setelah dilatih, karyawan wajib menceritakan HIV/AIDS kepada keluarganya, kemudian ke lingkungan. Selain pelatihan, kami juga membuat pin, brosur, dan pamflet tentang HIV/AIDS. Semua kegiatan yang terkait dengan HIV kami laporkan ke induk perusahaan PT Gajah Tunggal Tbk," Salmon menjelaskan.

Lalu, bagaimana bila ada karyawan yang terinfeksi HIV? Menurutnya, perusahaan memiliki kebijakan tidak membedakan karyawan yang terinfeksi HIV. Mereka tetap bekerja dan mendapatkan asuransi kesehatan. Ia menegaskan, tidak ada diskriminasi terhadap pengidap HIV.

Usia Produktif

Dampak epidemi AIDS terhadap dunia usaha tidak bisa dihindarkan. Fakta menunjukkan, sebagian besar kasus infeksi HIV terjadi pada kelompok usia produktif. Data International Labor Organization (ILO), dari 40 juta orang yang terinfeksi HIV di seluruh dunia, 25 juta di antaranya adalah pekerja.

Di Indonesia, sembilan dari sepuluh orang yang terinfeksi berada dalam kelompok usia kerja produkif, yang berusia 19 sampai 39 tahun. Kondisi itu juga diperburuk dengan kenyataan sejumlah pekerja yang terpisah jauh dari keluarga dalam waktu yang lama mencari hiburan dengan berhubungan seks berganti-ganti pasangan tanpa kondom. Data Departeman Kesehatan tahun 2002 memperlihatkan, sekitar tujuh juta sampai sepuluh juta laki-laki yang menjadi pelanggan seks komersial. Sebagian besar adalah pekerja, dan kurang dari sepuluh persen yang konsisten menggunakan kondom.

Kondisi semacam itu, ujar Direktur Pelayanan Kesehatan YKB dr Adi Sasongko MA, yang membuat kasus AIDS terus meningkat.

"Belum banyak perusahaan yang menyosialisasikan HIV/AIDS di tempat kerja. Masih banyak anggapan tidak benar tentang HIV/AIDS. Misalnya dianggap mudah menular, penyakit yang tidak benar, penularan di luar tempat kerja, sehingga karyawan yang terinfeksi HIV dikucilkan, dipecat dan biaya kesehatannya tidak ditanggung," kata Adi.

Menurutnya, perusahaan akan memperoleh manfaat bila melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. Karena, para pekerja adalah orang-orang yang berusia produktif sehingga masih memiliki waktu yang panjang untuk bisa berkarya. Terlebih lagi, penularan HIV tidak segampang penularan penyakit lain seperti tuberkulosis (TBC). HIV menular melalui hubungan seks yang tidak aman, dan pemakaian jarum suntik tidak steril, khususnya pada pemakai narkoba suntik.

Sejumlah warga negara Papua Nugini melintasi papan peringatan terhadap bahaya penyakit AIDS di Kantor Imigrasi Papua Nugini di Perbatasan RI-Papua Nugini, Skouw, Papua, Minggu (15/01/06). Tingginya tingkat penyebaran AIDS di wilayah Papua menyebabkan Pemprov Papua dan Pemerintah Papua Nugini melakukan kampanye bersama pencegahan AIDS. [Pembaruan/Jurnasyanto Sukarno]

Depresi

Adi menggambarkan kerugian perusahaan bila memecat dan mendiskriminasi karyawan yang terinfeksi HIV. Perusahaan harus mengganti karyawan, yang belum tentu memiliki keterampilan seperti karyawan lama. Untuk itu, perusahaan harus merekrut dan melatih karyawan baru, yang semuanya memerlukan waktu dan biaya.

Diskriminasi yang dilakukan orang sekitar, katanya, justru membuat pengidap HIV depresi dan penyakit itu yang bisa membuat seorang pengidap HIV meninggal. Jadi bukan karena AIDS.

Dalam sejarahnya, ujar dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu justru kebijakan pemerintah yang bersifat diskriminasi. Ada peraturan Departemen Tenaga Kerja yang menyebutkan, karyawan yang terinfeksi HIV, mengidap penyakit menular seksual, pemakai narkoba diperkecualikan dari pelayanan kesehatan di tempat kerja. Inilah yang melatarbelakangi asuransi kesehatan tidak menanggung biaya kesehatan karyawan dengan penyakit-penyakit tersebut.

"Ironisnya banyak pihak yang menjadi hakim, dan menganggap dirinya tidak berdosa sehingga mengucilkan mereka. Sementara, dunia global menolak hal semacam ini," katanya.

Adi menambahkan, dengan tujuan pencegahan dan menghilangkan diskriminasi terhadap pekerja yang terinfeksi HIV, kriteria penghargaan AIDS Award pun terdiri dari penyuluhan, pelatihan, penyebaran informasi HIV/AIDS di tempat kerja. Upaya itu didukung oleh kebijakan perusahaan yang nondiskriminasi. Kriteria lain adalah, perusahaan mengalokasi waktu, dana, dan memberi kesempatan kepada karyawan untuk mengikuti pelatihan. Lebih baik lagi, ujarnya, bila ada upaya menjangkau masyarakat sekitar lingkungan kerja. [Pembaruan/Nancy Nainggolan]

Minggu, 17 September 2006

CATHARINA WIDJAJA : Pentingnya Keseimbangan Hidup

Kesibukan kerja seharusnya tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk aktif dalam kegiatan sosial. Karena sebagai makhluk sosial, manusia harus berbagi kasih kepada orang lain. Sebab, itulah keseimbangan hidup. Prinsip tersebut sangat dipegang Catharina Widjaja (43) . Kendati, sehari-hari sangat disibukkan dengan tugas utamanya sebagai Direktur PT Gajah Tunggal Tbk dan mengelola sejumlah resto di Jakarta, Chatarina tetap punya waktu untuk aktif dalam organisasi sosial, seperti United in Diversity (UID) dan Delegasi Cinta Anak Bangsa.

"Semua itu bisa dilakukan dengan menggunakan manajemen waktu, bagaimana menentukan prioritas serta pendelegasian kerja. Karena tangan kita kan hanya dua, sehingga kita harus pandai-pandai membuat pendelegasian. Dan yang tak kalah penting adalah komunikasi. Bila komunikasi lancar, semua urusan beres," kata Catharina dalam percakapan dengan Suara Karya disela-sela acara donasi sekitar 50 kursi roda dari Wheelchair Foundation kepada Pemerintah Indonesia yang diwakilkan istri Menko Kesra, Ny Tatty Aburizal Bakrie, di Jakarta, Jumat (15/9).

Wheelchair Foundation merupakan organisasi nirlaba asal Amerika yang aktif memberikan donasi lewat UID. Hal itu didasarkan atas banyak anak Indonesia yang memiliki talenta luar biasa, namun terkendala oleh cacat fisik. Bantuan kursi roda itu langsung diberikan kepada penyandang cacat yang tergabung dalam Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia.

"Bantuan dari Wheelchair Foundation sebenarnya ada 280 kursi roda. Dari jumlah itu, 180 kursi roda sudah kami salurkan ke sejumlah organisasi penyandang cacat lainnya seperti Yayasan Bhakti Luhur, Yayasan Senang Hati, Yayasan Siswa Terpadu dan Wisma Chesshire," kata anggota Dewa Pembina UID dengan senyumnya yang khas.

Ibu tiga anak yang telah beranjak dewasa ini mengemukakan, keterlibatannya dalam organisasi sosial UID dimulai dari ajakan Cherry Nursalim,sebagai salah satu dewan pengurus sekaligus putri dari pemilik Grup Gajah Tunggal. UID dibentuk atas dasar pemikiran bahwa perekonomian Indonesia sulit untuk maju karena kurangnya komunikasi antara tiga sektor penggerak utama yaitu sektor swasta, pemerintah dan masyarakat.

"Misi UID adalah memupuk kerjasama antara ketiga sektor tersebut agar bersama-sama berkomitmen membangun dan memperbaiki taraf hidup masyarakat Indonesia," katanya.

UID sendiri didirikan bersama oleh Sekolah Manajemen MIT Sloan, Universitas Indonesia dan Sinar Harapan pada tahun 2003. UID menyatukan wakil-wakil dari berbagai sektor, seperti pemerintahan, institusi global, bisnis, akademik dan masyarakat umum yang bertujuan untuk mengajak sektor swasta terlibat aktif memajukan sektor publik untuk pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.

"Pembentukan UID ini berawal ketika Pemimpin Sinar Harapan, Aristides Katopo berpidato dalam sebuah acara di sebuah kota di Amerika. Pada kesempatan itu, mereka banyak bertanya tentang kerusuhan yang terjadi di Indonesia pasca kerusuhan Mei 1998 lalu. Pada kesempatan itu, lalu terpikir untuk membentuk organisasi sosial yang menegaskan bahwa Indonesia tetap bersatu meski memiliki keanekaragaman budaya (united in diversity). Meski ada kerusuhan, tidak ada perpecahan di dalamnya," kata Catharina menegaskan.

Ide pembentukan itu mendapat sambutan tidak saja dari sejumlah tokoh di Indonesia, tetapi juga negarawan dari luar negeri seperti Bill Clinton, Pangeran Albert dari Monaco. Terlebih setelah Indonesia dilanda tsunami, mata asing kembali terbuka tentang kondisi sosial ekonomi di Indonesia. Setelah itu, bantuan dana mengalir dari asing lewat UID.

"Kami baru saja selesai membangun sekitar 240 rumah di Kampung Sirimbo, Nias, Sumatera Utara. Dana itu merupakan donasi dari Kerajaan Monaco," tuturnya.

Catharina mengungkapkan, saat ini ada sekitar 20 perusahaan asing yang memberi donasi kepada UID untuk "membangun" pendidikan di Indonesia, baik lewat perbaikan gedung sekolah maupun program beasiswa. "Kami sedang membuat perencanaan tentang perbaikan gedung sekolah yang tidak berbenturan dengan program pemerintah," ucapnya.

Tentang program beasiswa, Catharina mengatakan, untuk program beasiswa jumlahnya tidak banyak. Karena ada pergeseran fokus kegiatan yang lebih mengarah pada pemberdayaan generasi muda. Bentuknya berupa pembekalan bagi lulusan sekolah menengah atas (SMA) terkait dengan rencana masa depannya.

"Dari banyak pengalaman, banyak lulusan SMA kita yang tidak tahu mau kemana setelah lulus dari sekolah. Tidak tahu apa saja yang harus dirancang untuk membangun karier sesuai dengan cita-citanya. Padahal, anak-anak Indonesia memiliki potensi yang luar biasa," kata Catharina.

Nantinya, lanjut Catharina, pihak UID akan berkeliling SMA di Indonesia, untuk memberi masukan kepada anak-anak SMA untuk merancang kariernya sejak dini, yaitu bangku SMA. Dengan demikian, mereka sudah tahu dan fokus terhadap kegiatan yang akan membawa mereka menuju cita-citanya.

"Kami juga membuat kegiatan untuk para siswa yang memiliki jiwa kepemimpinan untuk menjadi sebagai young leader bagi kemajuan generasi muda Indonesia di masa depan," tutur Catharina.

Melihat perjalanan karir Catharina Widjaja, wajar bila ia memimpikan generasi muda Indonesia mampu merancang masa depannya lebih baik. Lulusan jurusan MIPA dari Politeknik Sheffield, Inggris pada tahun 1985 dan gelar MSc dari Universitas Bradford, Inggris ini pernah bekerja di sejumlah perusahaan multinasional. Karier terlamanya adalah 9 tahun di dunia perbankan yang berkoporasi di Hong Kong dan Shanghai. Sebelumnya, kariernya di Deutsche Bank AG, di Jakarta selama dua tahun.

Setelah bekerja pada bank-bank asing selama kurang lebih 10 tahun, Catharina kemudian bergabung dengan Grup Gajah Tunggal. Kepiawaiannya dalam menangani berbagai macam hal yang menyangkut komunikasi dalam grup membuat jenjang karir Catharina terus menanjak. Tahun 2004 lalu ia diangkat menjadi salah satu direktur, khususnya bidang komunikasi di perusahaan yang memproduksi dan memasarkan ban mobil, ban dalam untuk motor, dan suku cadang perangkat berat kendaraan bermotor.

Tentang DCAB, Catharina menjelaskan, organisasi itu merupakan "pemekaran" dari Yayasan Cinta Anak Bangsa -yayasan yang khusus menangani masalah remaja dan narkoba. Sedangkan DCAB bertujuan untuk memberi bantuan kepada mereka yang menderita seperti korban bencana tsunami di Nias, Sumatera Utara dan para penderita busung lapar di Nusa Tenggara Timur.

Kiprah lain Catharia Widjaja dalam kegiatan sosial adalah kepeduliannya pada masalah HIV/AIDS di tempat kerja. Karena belum lama ini, PT Gajah Tunggal Tbk pernah mendapat pengharagan dari ILO (International Labor Organization) dan pemerintah atas prestasinya dalam melaksanakan program pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja.

Ditambahkan, implementasi dari program pencegahan HIV/AIDS langsung diterapkan di tingkat top manajemen. Kemudian, banyak yang bertanya-tanya kenapa harus dimulai dari mereka. Setelah itu, proses berlanjut hingga ke seluruh karyawan lewat pemeriksaan untuk melihat kemungkinan mereka terkena virus HIV atau tidak.

Pihak perusahaan menyediakan konseling 4 mata untuk menjaga kerahasiaan penderita. Pada kesempatan itu, mereka bisa bertanya tentang virus yang menyerang daya tahan tubuh manusia, faktor penyebab dan faktor risiko kemungkinan terkena virus HIV dan melihat film dokumentari dari seorang penderita HIV/AIDS yang bertahan dengan penyakitnya, yang disebut Staying Alive.

Perusahaan yang memperkerjakan ribuan tenaga kerja pria itu juga mengajarkan para pekerjanya untuk menggunakan kondom sebagai langkah pencegahan untuk terhindar dari virus HIV.

"Langkah kami selanjutnya adalah memberi pendidikan sekaligus membangun kesadaran para pekerja di perkebunan karet di Sumatera dan masyarakat sekitar pabrik," ucapnya.

PT Gajah Tunggal yang mengklaim dirinya sebagai pabrik bank terbesar di Asia Tenggara memperkerjaan sekitar 20 ribu tenaga kerja di perkebunan di Sumatera.

Ditanya tentang harapan dan target di masa depan, Catharina mengatakan, dirinya tidak memiliki harapan yang muluk-muluk dan berupaya membiarkan hidupnya seperti air mengalir. Ia akan berusaha tetap menyeimbangkan hidupnya antara kerja dan kegiatan sosial. Sebab, itulah sesungguhnya hidup. (Tri Wahyuni)